Hakikat Islam adalah penyerahan diri (istislam) secara total kepada Allah melalui Tauhid dan taat serta berlepas diri dari kesyirkan dan pelakunya. “Al-Islam huwa al-istislamu LiLlahi bit Tauhid wal Inqiyadu Lahu Bith Tha’ati wal baraa atu minasy Syirki Wa Ahlihi; Islam adalah berserah diri kepada Allah melalui tauhid dan tunduk kepada-Nya melalui taat (terhadap-Nya) serta berlepas diri dari kesyirikan dan pelaku kesyirikan”, jelas Syekh Muhammad At-Tamimi dalam kitabnya Al-Ushul Ats-Tsalatsah.
Menyoal (Muslim) Ucapkan Selamat Natal
(I)
Hakikat Islam adalah penyerahan diri (istislam) secara total kepada Allah melalui Tauhid dan taat serta berlepas diri dari kesyirkan dan pelakunya. “Al-Islam huwa al-istislamu LiLlahi bit Tauhid wal Inqiyadu Lahu Bith Tha’ati wal baraa atu minasy Syirki Wa Ahlihi; Islam adalah berserah diri kepada Allah melalui tauhid dan tunduk kepada-Nya melalui taat (terhadap-Nya) serta berlepas diri dari kesyirikan dan pelaku kesyirikan”, jelas Syekh Muhammad At-Tamimi dalam kitabnya Al-Ushul Ats-Tsalatsah.
Makna dan hakikat Islam seperti diejelaskan di atas menunjukan bahwa inti dari makna Islam adalah; Pertama, Istislam. Yakni penyerahan diri secara total kepada Allah yang mengejawantah melalui tauhid. Kedua, Inqiyad, yakni tunduk sepenuhnya kepada perintah Allah yang mewujud dalam bentuk ketaatan terhadap perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Ketiga, Baraah minasy Syirki wa ahlihi, Berlepas diri dari kesyirikan dan pelaku kesyirikan.
Fokus utama tulisan ini adalah unsur ketiga dari makna dan hakikat Islam sebagaimana disebutkan di atas. Yakni berlepas diri (bara’) dari kesyirikan dan pelaku kesyirikan. Artinya, tidak akan sempurna iman dan Islam seseorang hingga ia berlepas diri kesyirikan dan pelaku kesyirikan. Berlepas dari dari kesyirikan mengandung arti tidak membenarkan kesyirikan, tidak mentolerir perbuatan syirik. Sementara berlepas diri dari pelaku kesyirikan mengandung makna tidak ikut-ikutan terhadap perbuatan dan perilaku orang musyrik dalam aspek yang merupakan kekhususan dan ciri khas mereka. Termasuk di dalamnya tidak menayampaikan ucapan selamat atas perayaan agama mereka. Sebab ucapan selamat menunjukan pembenaran terhadap keyakinan mereka yang syirik dan kufur.
Keharaman menyampaikan ucapan selamat kepada orang Kafir dan musyrik atas perayaan Agama mereka telah difatwakan oleh para Ulama sejak dahulu. Diantaranya Imam Ibnu Qoyim al-Jauziyah rahimahullah (w.751 H) dalam kitabnya Ahkam Ahlidz Dzimmah. Beliau mengatakan;
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه
Memberi ucapan selamat terhadap syiar orang kafir yang menjadi ciri khas mereka, hukumnya haram dengan sepakat ulama. Misalnya, memberi ucapan selamat untuk hari raya mereka atau ibadah puasa mereka, misalnya dengan kita mengatakan, ‘merry christmas’ atau selamat natal atau ucapan lainnya. Kalimat semacam ini, meskipun orang pengucapnya tidak dihukumi kafir, namun ini termasuk melanggar yang haram. Sama halnya memberi ucapan selamat bagi orang yang sujud kepada salib. Bahkan dosanya lebih besar dan lebih dimurkai Allah, dari pada anda memberi ucapan selamat kepada peminum khamr, atau pembunuh, atau zina dan dosa lainnya. (Ahkam ahlidz-Dzimmah, 1/441).
Imam Ibnu Qoyim al-Jauziyah hidup tahun 700an hijriyah, dan wafat tahun 751 H. Hal itu menunjukkan, kesepakatan ulama yang beliau sampaikan adalah kesepakatan ulama generasi sebelum beliau. Dan perlu diingatkan bahwa untuk urusan aqidah seperti ini hendaknya diserahkan kepada ulama yang memiliki otoritas untuk membahas dan menyampaikan hukumnya boleh tidaknya. Artinya tidak semua orang memiliki otoritas untuk menghukuminya.
(II)
Meskipun telah ada fatwa Ulama tentang ketidak bolehan seorang Muslim menyampaikan ucapan selamat natal, ada saja orang-orang yang ngotot menghendaki ummat Islam mengucapkan selamat natal. Setiap bulan Desember ramai di media sosial diskusi dan polemik tentang ucapan selamat natal ini. Mulai dari artikel di website sampai sekadar kicuaun di facebook, twitter, dan media sosial lainnya. Di sini penulis mengutip tulisan peneliti INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations), Ustad Akmal Syafril. Tulisan beliau dipublish oleh: http://www.rappler.com/indonesia/116988-ucapan-selamat-natal-muslim-toleransi.
Intelektual muda ini menulis;
Jika banyak orang mempertanyakan mengapa seorang Muslim begitu ngotot untuk tidak mengucapkan selamat Natal, maka barangkali sekaranglah saat yang tepat untuk bertanya sebaliknya: Mengapa ada yang begitu ngotot memaksa umat Muslim untuk mengucapkan selamat Natal? Apakah ucapan itu sebegitu pentingnya sehingga menjadi tolok ukur kerukunan hidup umat Islam dan Kristen di negeri ini?
Sebagian orang nampak begitu habis-habisan mencari pembenaran untuk memaksa umat Muslim mengucapkan selamat Natal, sampai-sampai menyamakan Natal dengan “Maulid Nabi Isa AS”. Pandangan ini sudah jelas absurd.
Pertama, umat Kristen jelas-jelas merayakan kelahiran Yesus sang anak Tuhan yang disalib untuk menebus dosa-dosa manusia, sedangkan Isa AS yang dikenal oleh umat Muslim adalah seorang Nabi, dan ia tidak mati di tiang salib. Islam pun sangat menolak konsep Trinitas, karena Allah tiada beranak dan tidak pula diperanakkan (lam yalid wa lam yuulad). Keduanya adalah sistem kepercayaan yang sangat berbeda.
Kedua, dan ini juga tidak kalah pentingnya, adalah bahwa umat Muslim meyakini semua Nabi dan Rasul membawa risalah dari sumber yang sama, mengajarkan diin (agama) yang sama, meski ada perubahan syari’at. Dengan kata lain, umat Muslim meyakini bahwa merekalah – dan bukan umat Kristiani – yang sesungguhnya penerus Nabi Isa AS, meski syari’at yang berlaku adalah syari’at Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, jika benar-benar merayakan Maulid Nabi Isa AS, maka mengapa harus menyampaikan ucapan selamat kepada umat Kristiani?
Alasan ketiga adalah fakta bahwa telah terjadi perdebatan di seluruh dunia tentang pemilihan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus itu sendiri. Yang terakhir ini tentu saja membuat ucapan selamat Natal – jika dimaknai sebagai ucapan selamat merayakan Hari Maulid Nabi Isa AS – semakin absurd.
Semua kesimpangsiuran ini hanya mengakibatkan suasana semakin kisruh. Pada akhirnya, toleransi malah kehilangan makna, sebab ada “keseragaman” yang dipaksakan, ada sikap saling menghormati yang hilang, dan kita disibukkan dengan wacana-wacana yang sesungguhnya tidak penting, sedangkan yang benar-benar signifikan pengaruhnya bagi kerukunan hidup berbangsa justru dianggap sebagai angin lalu.
Penulis rasanya tidak pernah menemukan teman Kristen yang meminta (apalagi menuntut) rekan-rekannya yang Muslim untuk mengucapkan selamat Natal. Karena itu, dalam pandangan kami, wacana ini hanyalah isu yang sengaja difabrikasi dan dibesar-besarkan.
Ironisnya, fabrikasi isu nampaknya bukan isapan jempol dalam urusan beragama di negeri ini. Tengoklah misalnya insiden “tilawah Al-Qur’an langgam Jawa” yang juga pernah menimbulkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia beberapa waktu yang lalu. Meski langgam Jawa diklaim sebagai bukti “harmonisnya” agama dan budaya sejak masa lampau, toh kenyataannya wacana ini tenggelam begitu saja, karena memang tidak sedikitpun mengakar pada masyarakat Indonesia.
Orang Sunda tak memunculkan langgam Sunda, orang Minang tak mengusulkan langgam Minang, dan orang Bugis tentram saja dengan bacaan tilawah yang biasa, tanpa langgam Bugis. Bahkan masyarakat Jawa pun hingga detik ini masih belum akrab dengan langgam Jawa. Wacana ini hilang begitu saja, karena sejak awal memang dimunculkan tanpa alasan yang jelas.
Sementara itu, dari berbagai daerah masih bermunculan laporan adanya toko dan perusahaan ini-itu yang mewajibkan pegawai Muslimnya untuk mengenakan topi Sinterklas. Masih segar dalam ingatan kita tentang masjid yang dibakar di Tolikara dan kasusnya tidak ada tanda-tanda kemajuan hingga kini.
Demikian pula netizen Muslim yang emosinya diaduk-aduk oleh akun Twitter @hikdun yang sudah lama menghina Islam tanpa penyikapan yang jelas dari pihak penegak hukum. Bukankah ini semua – dan kasus-kasus lain semacamnya – adalah masalah toleransi yang sesungguhnya?
Marilah membangun toleransi. Tapi sebelumnya, marilah duduk dan berbicara jujur, dari hati ke hati. (Rappler.com).
(III)
Apa yang disampaikan oleh Akmal pada akhir artikelnya menarik untuk direnungkan. “Mari membangun toleransi. Tapi sebelumnya, marilah duduk dan berbicara jujur, dari hati-ke hati”. Sebab seorang Muslim tentu mengimani bahwa Allah adalah Maha Esa, tidak beranak dan tidak dilahirkan. Seorang Muslim juga meyakini bahwa Isa adalah Nabi Allah, bukan anak Tuhan dan bukan Tuhan. Seorang Muslim meyakini pula bahwa Nabi Isa tidak mati di tiang salib. Lalu bagaimana mungkin seorang Muslim diminta meridhai sesuatu yang bertentangan dengan iman dan aqidahnya. Apakah hal ini dapat menumbuhkan teoleransi dan kerukunan?
Sebagian kalangan yang ngotot “Muslim harus mengucapkan selamat Natal demi toleransi dan kerukunan” mengatakan, ucapan selamat natal tidak menunjukkan pembenaran terhadap keyakinan kaum kristen yang sedang merayakan natal. Lalu apa gunannya ucapan selamat tersebut? Sekadar basa-basi? Katanya demi kerukunan dan toleransi, tapi yang terjadi justeru basa-basai umat beragama.
Tamtsil sederhana berikut penting direnungkan;
Kita mengucapkan selamat kepada salah seorang kawan atau kerabat yang sedang berbahagi di hari wisudanya.”Selamat ya”. Artinya kita turut berbahagia atas kebahagiaan dia mendapat gelar sarjana, sekaligus meyakini dan mempercayai kesarjaannya. Sebab menjadi tidak bermakna dan tidak berguna kita menyampaikan ucapan selamat dan menampakkan turut berabahagia, lalau kita mengingkari dan tidak mempercayai kesarjaannya. Atau contoh lain, ucapan selamat kepada teman yang melangsungkan pernikahn. Artinya kita yakin dan percaya bahwa ia benar-benar menikah. Sangat janggal dan lucu, bila kita mengucapkan selamat atas pernikahan seseorang lalu hati kita tidak mempercayai pernikahannya atau meragukan keabsahan pernikannya.
Oleh karena itu, tidak perlu menumbuhkan kerukunan beragama dengan cara-cara yang mengandung basa-basi seperti diisyaratkan dalam tamtsil di atas. Sebab, kerukunan ummat beragama dapat dibangun tanpa harus mencampur adukan urusan aqidah dan ibadah. Toleransi antar ummat beragama dapat dibangun dengan masing-masing agama tetap pada pendirian masing-masing. Kerukunan dan toleransi dapat dibangun tanpa harus suatu agama terlibat dalam ritual agama lain, meski sekadar ucapan selamat. Inilah salah satu aplikasi dari Firman Allah, Lakum dinukum Wa Liya Diin; Untukmu Agamau dan untukkulah agamaku. (terj. Qs. Al-Kafirun ayat 6). Wallahu a’lam.