وَلَقَدْ أُوْحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَ لـَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبـَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتـَكُوْنـَنَّ مِنالْخَاسِرِ يْنَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu, jika kamu mempersekutukan (Tuhan) niscaya akan terhapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (Az-Zumar:65).
وَلَقَدْ أُوْحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَ لـَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبـَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتـَكُوْنـَنَّ مِنالْخَاسِرِ يْنَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu, jika kamu mempersekutukan (Tuhan) niscaya akan terhapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (Az-Zumar:65).
Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk memiliki aqidah shahihah dan menjauhkan diri dari pemahaman aqidah yang menyimpang (batil).
Salah satu contoh penyimpangan aqidah yang melanda sebahagian kaum muslimin adalah tentang keberadaan Allah سبحانه وتعالى , entah dikarenakan hawa nafsu atau syubhat-syubhat (keraguan-keraguan) yang ada pada mereka sehingga mereka mengatakan bahwa Allah سبحانه وتعالى berada dimana-mana atau Allah سبحانه وتعالى menyatu dalam diri makhluk-Nya atau dikarenakan kebodohan mereka sehingga mereka mengatakan: “Saya tidak tahu dimana Allah”
Pemahaman-pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang menyimpang dari pemahaman aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah سبحانه وتعالى bersemayam (istiwa’) di atas langit di atas ‘arsy-Nya sesuai dengan ke- Maha Agungan-Nya.
Dalil Al-Qur’an
Di dalam Al Qur’an banyak sekali ayat yang menyebutkan tentang ke-Maha Tinggian Allah سبحانه وتعالى di atas hamba-hamba-Nya atau Allah berada di atas langit, Diantaranya firman Allah سبحانه وتعالى :
“…Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy,.…” (Al Furqan:59)يَخـَافُوْنَ رَبــَّهُمْ مِنْ فَوْقِهـِمْ… النحل :50
“Mereka takut kepada Tuhan yang ada di atas mereka“ (An-Nahl:50)
Berkaitan dengan dalil-dalil tentang bersemayamnya Allah di atas langit (‘Arsy), para pemuka madzhab Syafi’i mengatakan bahwa di dalam Al Qur’an terdapat lebih dari seribu ayat yang menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi atas segala mahluk-Nya dan Allah berada di atas hamba-hamba-Nya. Sedangkan ulama yang lain mengatakan tiga ratusayat (Lihat Majmu’ Fatawa V/226).
Para ‘ulama salaf telah berijma’ (bersepakat) makna istiwa’ sesuai dengan makna zhahirnya/sebenarnya dan tidak membuat ta’wil istiwa’ dengan istawla yang artinya berkuasa. Sesungguhnya yang pertama kali yang menyebutkan bahwasanya Allah سبحانه وتعالى tidak beristiwa’ di atas ‘Arasy secara hakiki tetapi istiwa’ bermakna “Istawla” (استولى) adalah Ja’ad bin Dirham guru Jahm bin Shafwan (pelopor Jahmiyah) dan i’tiqad ini juga yang dianut oleh golongan lain seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Asy’ariyah sehingga mereka mengatakan dan meyakini bahwa “Allah tidak berada / bersemayam di atas langit tetapi Allah ada di mana-mana ..!!!”
Ibnu Abdil Barr رحه الله berkata : “Dan istiwa’ sudah dimaklumi maknanya dalam bahasa Arab yaitu tinggi dan naik ke atas sesuatu dan menetap serta berdiam di atasnya” (Lihat Kitabul ‘Arsy hal 170) dan berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin –rahimahullahu- : ”Para salaf memaknai istiwa’ dengan 4 makna ‘Ala (tinggi), Irtafa’a (meninggi) Sha’ada (naik) dan Istaqarra (menetap dan bersemayam) (Lihat Syarh al-Aqidah al Wasithiyah hal. 375)
Berkaitan dengan istiwa’ ini pula, Imam Malik bin Anas –rahimahullahu- berkata:
“Istiwa’ itu sudah diketahui maknanya, dan bagaimana caranya tidak diketahui (abstrak), mengimani-nya wajib, dan mempersoalkannya adalah bid’ah” (Lihat Ar Raddu ‘ala Jahmiyah hal 10)
Dalil As-Sunnah
Sedangkan dalil dari as Sunnah diantaranya adalah hadits tentang pertanyaan Rasulullah r kepada seorang budak wanita milik Mu’awiyah bin al Hakam as-Sulamy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya.
“Beliau bertanya kepadanya : “Dimana Allah ?” jawab budak perempuan : “Di atas langit”. Beliau bertanya : “Siapa saya ?” Jawab budak perempuan : “Anda adalah Rasulullah”. Beliau bersabda: ”Merdekakanlah ia ! karena sesungguhnya ia seorang mu’minah”. (HSR. Muslim dan Abu Daud)
Di hadits lain Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :أَلاَ تُأْمــَنُوْنِيْ وَأَنـــَا أَمِيْنٌ مَنْ فِي السَّـمَاءِ
“Tidakkah kamu merasa aman kepadaku padahal aku orang kepercayaan Dzat yang di atas langit” (HSR. Ibnu Khuzaimah dan Thabrany)
Pendapat ‘Ulama
Para As Salaf As Sholeh (generasi terdahulu) mempunyai i’tikad (keyakinan) bahwa Allah berada di atas langit.
Abu Bakar As Shiddieq t berkata : “Barang siapa menyembah Muhammad sesungguhnya Muhammad telah wafat dan barang siapa yang menyembah Allah sesungguhnya Allah di atas langit Maha Hidup tidak pernah mati” (Lihat Shifatul ‘Uluw hal. 23)
Imam Malik –rahimahullahu- berkata :
“Allah ada di atas langit dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, Tempat(‘Arsy-Nya) tidak pernah kosong”
Imam Abu Hanifah –rahimahullahu- berkata:
“Orang yang berkata : Aku tidak mengetahui apakah Allah berada di lagit atau di bumi? Maka sesungguhnya ia telah kufur”
Sebagai seorang muslim, kita harus memahami bahwa persoalan aqidah adalah tauqifiyah, artinya tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i, tidak ada medan ijtihad dan berpendapat (mendahulukan akal) di dalamnya, karena itulah sumber-sumbernya terbatas kepada apa yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah sesuai pemahaman As Salaf As Sholeh, sebab tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui tentang Allah, tentang apa-apa yang wajib baginya dan apa yang harus suci darinya melainkan Allah sendiri. Dan tidak seorang pun sesudah Allah yang lebih mengetahui tentang Allah selain Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan diharamkan bagi kita untuk mengambil pendapat manusia dalam masalah aqidah tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa meneliti sejauh mana kebenarannya.
Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullahu- berkata : “Janganlah mensifati Allah kecuali dengan apa yang Allah telah sifatkan bagi diri-Nya sendiri dan apa yang telah disifatkan oleh Rasulullah dan janganlah mendahului Al Qur’an dan As Sunnah” (Lihat Majmu’ Fatawa 4:26).
Berkata Al Khattabi dan Khatib Al Baghdadi -rahimahumallahu- :
“Madzhab salaf menjadikan seluruh ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits tentang Sifat Allah sesuai dengan zhahir (hakekatnya) dan menolak “bagaimana” dan penyerupaannya. (Majmu’ Fatawa 33:175).
Inilah pandangan madzhab salaf/Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah Nama dan Sifat-Nya.
Adapun i’tiqad bahwa Allah itu berada di dalam diri kita (menyatu dengan hamba-Nya atau Wihdatul Wujud) sebagaimana yang diyakini oleh sebagian pengikut Tasawuf (Sufiyyah) atau Allah berada dimana-mana adalah i’tiqad yang batil, sesat dan menyesatkan karena selain bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah juga bertentangan dengan akal sehat dan fitrah manusia.
Jika Allah bersatu dengan makhluk-Nya) berarti kita telah menyerupakan Allah U dengan makhluk-Nya, padahal Allah telah berfirman :
“…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia….” (Asy-Syuura:11)
Jika kita meyakini Allah ada dimana-mana berarti Allah bisa berada di selokan, di WC, tempat ma’siat dan sebagainya. -Subhanallahu- (Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan dan yakini).
Selain itu sangat mengherankan jika seorang muslim tidak tahu di mana Tuhan yang di sembahnya, hal ini berarti ia menyembah sesuatu yang tidak jelas keberadaannya.
Sebagai kesimpulan adalah wajib bagi kita setiap muslim untuk beri’tiqad bahwa Allah I di atas langit dan menolak pemahaman-pemahaman yang batil. Sesungguhnya segala apa yang ditunjukkan oleh Al Qur’an dan as Sunnah sesuai manhaj As Salaf Ash Sholeh tentang hak Allah U maka kita wajib meyakininya dan mengamalkan-nya. Wallahu Ta’ala a’lam.
-Abu Mujahidah al Atsary-
Sumber : https://wahdah.or.id/dimana-allah/